_____________________________________________________________________
Aku tau itu tidak benar.
Seharusnya aku menulis hal lain yang lebih konyol ketimbang menulis lelucon tentang malaikat.
Mana aku tau kalau mereka benar-benar bisa mengutuk-ku.
Mungkin mereka akan mendatangiku melalui mimpi malam ini.
Membawa Obor berikut cambuk mengerikan itu, sementara dibelakang mereka berdiri rentetan prajurit.
Ooooh, aku mulai lagi.
Baiklah, aku akan mengalihkan pembicaraan.
Beberapa hari lalu aku bertemu dosenku, tentu saja aku bertemu dengannya bukan di area kampus.
Menjengkelkan mana saat kau hampir bertabrakan dengan salah seorang dosenmu. Kau harus memberikan senyuman sempurna, seolah kau memujanya dengan teramat sangat.
Aku benci hal-hal seperti ini.
Aku kerap bertemu dengan orang tua teman-temanku.
Mungkin aku pernah berkunjung kerumah mereka beberapa kali sehingga mereka ingat wajahku.
Dan akibatnya, aku harus tersenyum dengan sangat lebar manakala aku bertemu mereka di tengah jalan atau dimanapun itu. Dan harus menyapa dengan sangat ramah, seraya bertanya "Rossa mana tante??" (Anggap saja temanku bernama Rossa dan sekarang aku bertemu dengan ibunya dipasar loak ).
aku benci...aku benci...aku benci...
Apa yang kubenci dari semua itu???
Aku benci dengan wajah yang seolah-olah gembira bertemu dengan mereka, padahal sebelumnya saat kau pertama kali melihat mereka, kau berniat hendak berbalik arah untuk menghindari mereka. Tapi karena mereka terlanjur melihatmu, maka kau terpaksa nyengir lebar lalu menyapanya.
Apakah itu termasuk munafik?
Mungkin tidak,
Kau hanya berusaha untuk bersikap wajar, sebagai seorang teman dari anaknya.
Tapi tetap saja. Itu membuatku jengah.
Aku akan berusaha untuk pura-pura tidak melihat mereka sebeluam mereka terlanjur melihatku dan aku terpaksa bermanis-manis muka dihadapan mereka. Ini sama menjengkelkannya dengan momen manakala kau menemui ibu pacarmu dan ia memandangimu dari atas hingga bawah seolah kau adalah orang aneh yang mecoba memperburuk keturunan mereka. :(
Sebagai gadis timur, aku terbiasa dengan didikan keramah tamahan.
Aku mengaji sejak umur 4 tahun dan tengah pandai mengeja berikut membaca al-qur'an sejak usia 6 tahun.
Dan aku merupakan jebolan ma'had pada derajat SMP.
Tapi temanku bilang kalau aku adalah korban film-film barat.
Hal ini membuat moralku merosot jauh diatas rata-rata gadis lokal.
Sekarang aku tidak menganggap keperawanan ataupun keperjakaan adalah hal yang terlalu penting untuk dipertimbangkan dalam pernikahan. Aku tidak berniat untuk melakukan seks pranikah, tapi kalau memang pasanganku bukan perjaka ting-ting, kurasa aku bisa menerimanaya. Tak perlu penjelasan untukku alasan ketidak perjakaan itu. Aku memandang diriku sebagai orang yang objektif, dan pemikir, dan aku pasti mampu memandang laki-laki yang bisa berdiri disampingku kelak. Meskipun aku tidak terlalu memikirkan perihal pernikahan konyol itu, dan aku memang tidak terlalu memikirkan pernikahan. Bodoh rasanya jika kau menikah sementara nasib ekonomimu terkatung-katung. Dan inilah yang temanku bilang bahwa aku adalah korban film barat. Ketidak-inginan menikah sebelum menjelang usia 27 atau 30, dan mungkin 40 tahun, padahal semua temanmu mungkin sudah menikah diusia 25 tahun, dan sudah memiliki cucu di usia 45 tahun.
Dan sekarang aku berbicara mengenai moral terhadap orang yang kau kenal.
Ada kalanya aku bertemu guru masa sekolah dasarku.
Seperti 6 bulan lalu. Aku bertemu wali kelasku saat aku duduk di kelas terakhir sekolah dasar.
Tapi beliau tampak tidak mengenalku sama sekali, jadi aku memutuskan untuk menjadi orang yang seolah-olah tidak pernah bertemu dengannya. Lagi pula kupikir belum ada yang bisa kubanggakan padanya. Aku hanya seorang mahasiswi di sebuah kampus lokal yang baru berdiri kira-kira sepuluh tahun lalu, dan aku memiliki IPK yang tidak terlalu memuaskan bahkan untuk ukuran kampus yang baru mulai tumbuh. Dan aku merasa benar untuk pura-pura tidak mengenalnya sama sekali.
_______________________________________________________________________
Aku tau itu tidak benar.
Seharusnya aku menulis hal lain yang lebih konyol ketimbang menulis lelucon tentang malaikat.
Mana aku tau kalau mereka benar-benar bisa mengutuk-ku.
Mungkin mereka akan mendatangiku melalui mimpi malam ini.
Membawa Obor berikut cambuk mengerikan itu, sementara dibelakang mereka berdiri rentetan prajurit.
Ooooh, aku mulai lagi.
Baiklah, aku akan mengalihkan pembicaraan.
Beberapa hari lalu aku bertemu dosenku, tentu saja aku bertemu dengannya bukan di area kampus.
Menjengkelkan mana saat kau hampir bertabrakan dengan salah seorang dosenmu. Kau harus memberikan senyuman sempurna, seolah kau memujanya dengan teramat sangat.
Aku benci hal-hal seperti ini.
Aku kerap bertemu dengan orang tua teman-temanku.
Mungkin aku pernah berkunjung kerumah mereka beberapa kali sehingga mereka ingat wajahku.
Dan akibatnya, aku harus tersenyum dengan sangat lebar manakala aku bertemu mereka di tengah jalan atau dimanapun itu. Dan harus menyapa dengan sangat ramah, seraya bertanya "Rossa mana tante??" (Anggap saja temanku bernama Rossa dan sekarang aku bertemu dengan ibunya dipasar loak ).
aku benci...aku benci...aku benci...
Apa yang kubenci dari semua itu???
Aku benci dengan wajah yang seolah-olah gembira bertemu dengan mereka, padahal sebelumnya saat kau pertama kali melihat mereka, kau berniat hendak berbalik arah untuk menghindari mereka. Tapi karena mereka terlanjur melihatmu, maka kau terpaksa nyengir lebar lalu menyapanya.
Apakah itu termasuk munafik?
Mungkin tidak,
Kau hanya berusaha untuk bersikap wajar, sebagai seorang teman dari anaknya.
Tapi tetap saja. Itu membuatku jengah.
Aku akan berusaha untuk pura-pura tidak melihat mereka sebeluam mereka terlanjur melihatku dan aku terpaksa bermanis-manis muka dihadapan mereka. Ini sama menjengkelkannya dengan momen manakala kau menemui ibu pacarmu dan ia memandangimu dari atas hingga bawah seolah kau adalah orang aneh yang mecoba memperburuk keturunan mereka. :(
Sebagai gadis timur, aku terbiasa dengan didikan keramah tamahan.
Aku mengaji sejak umur 4 tahun dan tengah pandai mengeja berikut membaca al-qur'an sejak usia 6 tahun.
Dan aku merupakan jebolan ma'had pada derajat SMP.
Tapi temanku bilang kalau aku adalah korban film-film barat.
Hal ini membuat moralku merosot jauh diatas rata-rata gadis lokal.
Sekarang aku tidak menganggap keperawanan ataupun keperjakaan adalah hal yang terlalu penting untuk dipertimbangkan dalam pernikahan. Aku tidak berniat untuk melakukan seks pranikah, tapi kalau memang pasanganku bukan perjaka ting-ting, kurasa aku bisa menerimanaya. Tak perlu penjelasan untukku alasan ketidak perjakaan itu. Aku memandang diriku sebagai orang yang objektif, dan pemikir, dan aku pasti mampu memandang laki-laki yang bisa berdiri disampingku kelak. Meskipun aku tidak terlalu memikirkan perihal pernikahan konyol itu, dan aku memang tidak terlalu memikirkan pernikahan. Bodoh rasanya jika kau menikah sementara nasib ekonomimu terkatung-katung. Dan inilah yang temanku bilang bahwa aku adalah korban film barat. Ketidak-inginan menikah sebelum menjelang usia 27 atau 30, dan mungkin 40 tahun, padahal semua temanmu mungkin sudah menikah diusia 25 tahun, dan sudah memiliki cucu di usia 45 tahun.
Dan sekarang aku berbicara mengenai moral terhadap orang yang kau kenal.
Ada kalanya aku bertemu guru masa sekolah dasarku.
Seperti 6 bulan lalu. Aku bertemu wali kelasku saat aku duduk di kelas terakhir sekolah dasar.
Tapi beliau tampak tidak mengenalku sama sekali, jadi aku memutuskan untuk menjadi orang yang seolah-olah tidak pernah bertemu dengannya. Lagi pula kupikir belum ada yang bisa kubanggakan padanya. Aku hanya seorang mahasiswi di sebuah kampus lokal yang baru berdiri kira-kira sepuluh tahun lalu, dan aku memiliki IPK yang tidak terlalu memuaskan bahkan untuk ukuran kampus yang baru mulai tumbuh. Dan aku merasa benar untuk pura-pura tidak mengenalnya sama sekali.
_______________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar